Dusun di Tikolod Tambunan. Tikolod merupakan salah satu laluan garam yang menghubungkan
Tambunan di pendalaman dan daerah Papar di pesisir. Selain itu ada juga route “Jalan
Garam” Tambunan-Penampang.
Bagi kaum Dayak Dusunic pedalaman pada zaman dahulu, mereka memiliki route jalan (talun-
alun) yang menghubungkan mereka dengan daerah pesisir. Talun-alun inilah yg menjadi nadi
perdagangan antara suku-suku pendalaman dan suku-suku pesisir. Ketika ramainya aktivitas
perdagangan, jalan garam menjadi tempat laluan para pedagang dari pedalaman. Karena masih
dijiwai oleh jiwa “sangod” maka kadangkala suku-suku Dusun pendalaman ini saling berperang
untuk menguasai perdagangan di jalan garam.
Pada tahun 1880 misalnya, suku Liwan dan Tagahas merupakan penguasa perdagangan di kawasan
Inanam dan Pogunon Penampang. Di Tamparuli pula tamu2 terdiri dari orang-orang Lotud,
Tagahas, Bundu dan Liwan yg datang sejauh dari daerah Tuaran, Kiulu dan Ranau. Demikian
juga di Tamu di Kota Belud, suku-suku yang berkumpul adalah dr kaum Tindal, Tobilung,
Bundu, Sama dan Iranun. Orang pendalaman membawa hasil hutan dan orang laut membawa hasil
laut. Symbiosis pun terjadi, masing-masing saling memerlukan, suku-suku laut memerlukan
barangan dr suku-suku pendalaman dan suku-suku pendalaman memerlukan barangan dari suku-
suku laut.
Pada sekitar abad-18, Bobolian Aki Sogunting telah mengundang kaum Dusun pesisir (Tangara,
Lotud) dan Dusun pendalaman (Liwan, Tuhawon, Talantang, Bundu Tagahas, etc) untuk berdamai
di Gantung Sorili, menghentikan perang kayau, beberapa tokoh dari suku Bajau juga
dipanggil. Tujuan perdamaian ini adalah untuk mengamankan jalan garam, jalan perdagangan
kaum Dusun. Perdamaian ini telah berjaya menghentikan pertumpahan darah antara suku-suku
di Sabah ketika itu. Suku-suku Dusun ketika itu mulai menumpukan diri kepada aktiviti
perdagangan dan mulai meninggalkan aktiviti headhunting n perang antara suku.
Ada satu kisah menarik dari kaum Mibang (suku campuran Liwan dan Tuhawon) di Tambunan.
Puak ini suku yg kuat, mereka pembuat senjata gayang yang berkualitas dan kelompok suku yg
kuat dalam peperangan. Suku ini juga telah bersumpah untuk tidak berperang dengan orang
Tangara (Kadazan) dan orang Sama (Bajau), demi menjaga hubungan dengan mereka. Karena suku
Mibang bergantung dengan kedua suku ini dalam perdagangan, suku Bajau laut memberikan
garam+hasil laut dan suku Mibang membarternya dengan hasil+hasil hutan. Suku ini menjadi
salah satu suku pengawal/pengiring para pedagang di jalan garam. Ketika keluar mengiringi
para pedagang, mereka memiliki upacara membacakan rinait (mantera) ketika turun untuk
mengiringi para pedagang, potongan rinait itu antaranya :
1. Kada songodo tangara ingga maiti ponginbodian
2. Kada songodo samah, ingaa ma pongintusian
Artinya :
1. Jangan bunuh kaum Tangara (kadazan), nanti tidak ada tempat untuk berdagang.
2. Jangan bunuh kaum Samah (Bajau), nanti tidak ada tempat untuk bertukar garam.
Rinait ini merupakan semacam sumpah untuk kaum Dusun pendalaman supaya menjaga hubungan
dengan suku-suku pesisir yang merupakan rekan dagang mereka. Menurut kisah, salah satu
dari pahlawan pengiring telah terlanggar sumpah seperti yang sudah mereka ucapkan dalam
rinait. Aki Luminda, telah memenggal 9 kepala Samah yang coba merompak barang dagangan
kaum suku Tuhawon-Liwan yang ketika itu dalam perjalanan pulang ke daerah pendalaman di
Tambunan. Karena sadar sudah melanggar sumpah, maka Aki Luminda pun menolak untuk kembali
ke daerah pendalaman, sebaliknya terus menetap di daerah pesisir. Aki Luminda berkahwin
dengan seorang wanita Dusun Tangara (kadazan).
Tabe
Ulasan
Catat Ulasan